Melihat Neneknya sedang asyik menulis Adi bertanya, “Nenek sedang menulis apa?”
 
Mendengar pertanyaan cucunya, sang Nenek berhenti menulis lalu berkata, “Adi cucuku, sebenarnya nenek sedang menulis tentang Adi. Namun ada yang lebih penting dari isi tulisan Nenek ini, yaitu pensil yang sedang Nenek pakai. Nenek berharap Adi dapat menjadi seperti pensil ini ketika besar nanti.”
 
“Apa maksud Nenek bahwa Adi harus dapat menjadi seperti sebuah pensil? Lagipula sepertinya pensil itu biasa saja, sama seperti pensil lainnya,” jawab Adi dengan bingung.
 
Nenek tersenyum bijak dan menjawab, “Itu semua tergantung bagaimana Adi melihat pensil ini. Tahukah kau, Adi, bahwa sebenarnya pensil ini mempunyai 5 kualitas yang bisa membuatmu selalu tenang dalam menjalani hidup.”
 
“Apakah Nenek bisa menjelaskan lebih detil lagi padaku?” pinta Adi
 
“Tentu saja Adi,” jawab Nenek dengan penuh kasih
 
“Kualitas pertama, pensil dapat mengingatkanmu bahwa kau bisa melakukan hal yang hebat dalam hidup ini. Layaknya sebuah pensil ketika menulis, kau jangan pernah lupa kalau ada tangan yang selalu membimbing langkahmu dalam hidup ini. Kita menyebutnya tangan orang-orang yang memiliki tanda tanpa jasa.
 
“Kualitas kedua, dalam proses menulis, kita kadang beberapa kali harus berhenti dan menggunakan rautan untuk menajamkan kembali pensil yang kita pakai. Rautan itu pasti akan membuat pensil menderita. Tapi setelah proses meraut selesai, pensil itu akan mendapatkan ketajamannya kembali. Begitu juga denganmu, dalam hidup ini kau harus berani menerima penderitaan dan kesusahan, karena merekalah yang akan membuatmu menjadi orang yang lebih baik”.
 
“Kualitas ketiga, pensil selalu memberikan kita kesempatan untuk mempergunakan penghapus, untuk memperbaiki kata-kata yang salah. Oleh karena itu memperbaiki kesalahan kita dalam hidup ini, bukanlah hal yang jelek. Itu bisa membantu kita untuk tetap berada pada jalan yang benar”.
 
“Kualitas keempat, bagian yang paling penting dari sebuah pensil bukanlah bagian luarnya, melainkan arang yang ada di dalam sebuah pensil. Oleh sebab itu, selalulah hati-hati dan menyadari hal-hal di dalam dirimu”.
 
“Kualitas kelima, adalah sebuah pensil selalu meninggalkan tanda/goresan. Seperti juga Adi, kau harus sadar kalau apapun yang kau perbuat dalam hidup ini akan meninggalkan kesan. Oleh karena itu selalulah hati-hati dan sadar terhadap semua tindakan”.
 
“Nah, bagaimana Adi? Apakah kau mengerti apa yang Nenek sampaikan?”
 

“Mengerti Nek, Adi bangga punya Nenek hebat dan bijak sepertimu.”

Begitu banyak hal dalam kehidupan kita yang ternyata mengandung filosofi kehidupan dan menyimpan nilai-nilai yang berguna bagi kita. Semoga memberikan manfaat.

source:milist Dharmajala

Agustin

How do you address a school senior who is older than you? You should usually call them by ‘sunbae’. But you have also probably heard Korean students address their school seniors by ‘언니’, ‘오빠’,  ‘형’, or ‘누나’.

Korean students call their school seniors whom they are extremely close with 언니, 오빠,  형, or 누나.  A senior you have just met or whom you are not very close to would be called 선배, but that name changes to 언니, 오빠, etc once you get know them better. This reflects the Korean mind of showing one’s intimacy for people who are not your family members by using names used within the family.

Reference: Ewha Woman University (Ewha Language Center)

What is the first question you are asked from a Korean you have just met? You are probably asked “What is your name?”, or “What is your job?”
Have you ever been asked on your first encounter the question “How old are you?” When you hear this, you may find it strange that Koreans should be asking such an odd question. But this is not a question to simply get to know your age, but to find out whether you are older or younger that the person who asked the question. Since we need to use terms of respect when speaking to someone who is older, we ask the question in order to find out whether we need to speak in terms of respect or in the low forms of speech. Do you see now why Koreans ask for your age?

Reference: Ewha Woman University (Ewha Language Center)

Enlight Your Life

Banyak orang keluar masuk dalam hidup kita. Ada yang melintas dalam segmen singkat, namun membekas keras. Ada yang telah lama berjalan beiringan, tetapi tak disadari arti kehadirannya.

Ada pula yang begitu jauh di mata, sedangkan penampakannya melekat di hati. Ada yang datang pergi begitu saja seolah tak pernah ada. Semua orang yang pernah singgah dalam hidup kita bagaikan manik-manik pembentuk mosaik catatan sejarah. Gambaran itu sebenarnya telah terbentuk, hanya saja tak pernah selesai. Atau kita salah lihat, sehingga seringkali tak bisa dinikmati keindahan karyanya.  Ambillah waktu sejenak untuk mengenang mereka yang pernah hadir dalam hidup anda. Kenanglah seluruh kebaikan mereka serta kebaikan yang mungkin tersembunyi di balik tabir kekecewaan. Mereka adalah orangtua dan guru, sanak dan kerabat, teman serta sahabat. Juga tiada salahnya mengenang mereka yang pernah anda anggap musuh dan pengkhianat. Atau yang tak pernah anda tahu nama dan wajahnya. Bagaimana pun mereka telah turut memahat pribadi anda; menyapukan tinta pada lukisan hidup anda; menyiangi tanaman jiwa anda.

Kenanglah dalam genangan cinta yang tak bertepi. Hanya dalam tatapan cintalah anda bisa memandang indahnya kehidupan ini. Karena tiada secuilpun hidup yang perlu disesali, maka hanya cinta dan kasih sayanglah jawabannya.

By : NN

Story

Sepasang  kakek dan nenek pergi belanja di sebuah toko suvenir untuk mencari hadiah buat cucu mereka. Kemudian mata mereka tertuju kepada sebuah cangkir yang cantik. “Lihat  cangkir  itu,”  kata  si nenek kepada suaminya. “Kau benar, inilah cangkir tercantik yang pernah aku lihat,” ujar si kakek.
Saat  mereka  mendekati  cangkir  itu, tiba-tiba cangkir yang dimaksud berbicara “Terima  kasih  untuk  perhatiannya,  perlu  diketahui  bahwa  aku dulunya tidak cantik. Sebelum menjadi cangkir yang dikagumi, aku hanyalah seonggok  tanah liat yang  tidak  berguna.  Namun suatu hari ada seorang pengrajin dengan tangan kotor melempar aku ke sebuah roda berputar.

Kemudian ia mulai memutar-mutar aku hingga aku merasa pusing. Stop ! Stop  ! Aku berteriak,  Tetapi  orang  itu  berkata  “belum  !”  lalu ia mulai menyodok  dan meninjuku  berulang-ulang. Stop! Stop ! teriakku lagi. Tapi orang ini masih saja meninjuku,  tanpa menghiraukan teriakanku. Bahkan lebih buruk lagi ia memasukkan aku  ke  dalam  perapian.  Panas ! Panas ! Teriakku dengan keras. Stop ! Cukup ! Teriakku lagi. Tapi orang ini berkata “belum !”
Akhirnya  ia  mengangkat aku dari perapian itu dan membiarkan aku sampai dingin. Aku  pikir,  selesailah  penderitaanku.  Oh  ternyata  belum. Setelah dingin aku diberikan  kepada  seorang  wanita  muda  dan dan ia mulai mewarnai aku. Asapnya begitu memualkan. Stop ! Stop ! Aku berteriak.
Wanita  itu  berkata “belum !” Lalu ia memberikan aku kepada seorang pria dan ia memasukkan  aku  lagi  ke  perapian  yang  lebih panas dari sebelumnya! Tolong ! Hentikan  penyiksaan  ini  !  Sambil menangis aku berteriak sekuat-kuatnya. Tapi orang  ini  tidak  peduli  dengan teriakanku.Ia  terus membakarku. Setelah puas “menyiksaku” kini aku dibiarkan dingin.
Setelah  benar-benar  dingin, seorang wanita cantik mengangkatku dan menempatkan aku  dekat  kaca.  Aku  melihat  diriku.  Aku  terkejut sekali. Aku hampir tidak percaya,  karena  di  hadapanku  berdiri sebuah cangkir yang begitu cantik. Semua kesakitan dan penderitaanku yang lalu menjadi sirna tatkala kulihat diriku.
***
Sahabat,  dalam kehidupan ini adakalanya kita seperti  disuruh berlari, ada kalanya kita seperti digencet permasalahan kehidupan. Tapi sadarlah bahwa lakon-lakon itu untuk membuat kita kuat. Hingga cita-cita kita tercapai. Memang pada saat itu tidaklah  menyenangkan,  sakit,  penuh  penderitaan, dan banyak air mata. Tetapi inilah  satu-satunya  cara  untuk mengubah kita supaya menjadi cantik dan memancarkan kemuliaan.
“Sahabat,  anggaplah  sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam berbagai pencobaan, sebab  Anda tahu bahwa ujian  terhadap  kita menghasilkan ketekunan. Dan biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang supaya Anda menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apapun.”
Apabila  Anda  sedang  menghadapi  ujian  hidup, jangan kecil hati, karena akhir dari apa yang sedang anda hadapi adalah kenyataan bahwa anda lebih baik, dan makin cantik dalam kehidupan ini.

sumber : milist Dharmajala

Bagi kamu yang mengalami kesulitan bermeditasi, hal ini disebabkan kamu belum belajar bagaimana melepas pada saat bermeditasi. Mengapa kita tidak bisa melepaskan hal-hal sederhana seperti masa lampau atau masa mendatang? Mengapa kita begitu mempedulikan apa yang telah dilakukan dan dikatakan seseorang terhadap kita hari ini? Semakin banyak kamu memikirkannya, semakin bodohlah jadinya. Seperti pepatah kuno, “Ketika seseorang menyebutmu idiot, semakin sering kamu mengingatnya, maka semakin seringlah mereka telah menyebutmu idiot!” Jika kamu segera melepaskannya, kamu tidak akan pernah memikirkannya lagi. Paling banyak mereka hanya menyebutmu idiot sekali saja. Sudah! Selesai! Kamu bebas!

Mengapa kita memenjarakan diri kita dalam masa lalu kita? Mengapa kita masih tidak bisa melepaskannya? Apakah kamu sungguh-sungguh ingin bebas? Maka akuilah, maafkan dan lepaskan. Akui, maafkan dan lepaskan hal apapun yang menyakitimu, baik itu sesuatu yang dilakukan atau dikatakan oleh seseorang, maupun apa yang telah terjadi dalam kehidupanmu. Sebagai contoh, seseorang dalam keluargamu telah meninggal dan kamu berdebat dengan dirimu sendiri bahwa mereka tidak seharusnya meninggal. Atau kamu telah kehilangan pekerjaanmu dan kamu berpikir tanpa henti bahwa hal ini tidak seharusnya terjadi. Atau hanya karena sesuatu tidak berjalan sebagaimana mestinya, kemudian kamu begitu terobsesi menyatakan bahwa itu tidaklah adil. Kamu boleh menghukum dirimu atas hal yang kamu lakukan sepanjang sisa hidupmu jika kamu mau, tetapi tidak ada seorangpun yang memaksamu untuk melakukannya. Sebaliknya kamu dapat mengakui, memaafkan dan belajar memaafkan. Pelepasan adalah proses pembelajaran. Pelepasan memberikan kebebasan bagi kita untuk menyongsong masa depan dengan mudah, serta memutuskan rantai keterikatan terhadap masa lalu.

Baru-baru ini saya berbicara dengan beberapa orang mengenai komunitas orang-orang Kamboja di Perth yang menjadi komunitas Buddhis, masih banyak hal yang harus saya lakukan bersama komunitas ini. Seperti layaknya umat Buddha tradisional lainnya, ketika mereka terbentur masalah, mereka akan datang dan berkonsultasi dengan para bhikkhu. Inilah yang telah mereka lakukan selama berabad-abad. Vihara dan para bhikkhu adalah pusat sosial, pusat keagamaan, dan pusat konseling bagi komunitas tersebut. Bahkan ketika para pria bertengkar dengan istri mereka, merekapun datang ke vihara.

Suatu ketika pada saat saya masih seorang bhikkhu muda di Thailand, seorang pria datang ke vihara dan bertanya pada saya, “Bolehkah saya tinggal di vihara selama beberapa hari?” Saya pikir ia ingin bermeditasi, jadi saya berkata, “Oh, kamu mau bermeditasi ya?” “Oh, tidak”, ia menjawab, “Saya ingin tinggal di vihara karena saya baru saja bertengkar dengan istri saya.” Jadi ia pun tinggal di vihara. Tiga atau empat hari kemudian ia menjumpai saya dan berkata, “Saya merasa lebih baik sekarang, bolehkah saya pulang?” Sungguh bijak, ia bukannya pergi ke bar dan mabuk-mabukan, ia tidak mendatangi teman-temannya dan membeberkan kepada mereka hal-hal jelek yang ia pikirkan mengenai apa yang telah dilakukan istrinya sehingga memperkuat rasa sakit hati dan kemarahannya, melainkan ia tinggal dengan sekumpulan bhikkhu yang penuh kebaikan dan kedamaian, yang tidak akan berkomentar apapun mengenai istrinya. Ia merenungkan hal-hal yang telah dilakukannya dalam kedamaian itu, dalam lingkungan yang mendukung dan akhirnya ia pun merasa lebih baik. Kadang-kadang inilah fungsi vihara: sebagai pusat konsultasi, tempat pengungsian, tempat dimana orang melepaskan segala permasalahannya. Bukankah hal ini lebih baik daripada tetap melekat pada masa lalu, terutama ketika kita marah terhadap sesuatu yang telah terjadi? Ketika kita memperbesar kemarahan, apakah kita dapat benar-benar melihat hal yang sedang terjadi? Atau kita melihatnya melalui kacamata kemarahan yang menyesatkan, mencari kesalahan orang lain, hanya memperhatikan hal-hal jelek yang telah dilakukannya pada kita, tanpa pernah benar-benar melihat gambarannya secara utuh?

Satu hal yang saya amati dari komunitas orang orang Kamboja ini adalah bahwa mereka semua telah melalui penderitaan pada masa zaman Pol Pot. Saya mengenal seorang pria Kamboja yang istrinya ditembak tepat di hadapannya oleh Khmer Merah, hanya karena mencuri sebuah mangga. Istrinya sangat lapar sehingga ia memetik sebuah mangga dari pohon. Salah seorang kader Khmer Merah melihatnya dan, tanpa diadili, ia menarik senapannya di depan suaminya dan menembak mati sang istri. Ketika pria ini menceritakan hal ini kepada saya, saya memperhatikan wajahnya, gerak gerik tubuhnya, sungguh menakjubkan, tidak ada kemarahan, tidak ada kebencian, bahkan tidak ada kesedihan yang tampak. Yang ada hanyalah penerimaan yang penuh kedamaian atas apa yang telah terjadi. Hal ini tidak seharusnya terjadi, tetapi pada kenyataannya hal inilah yang terjadi.

Dengan melepaskan masa lalu, kita dapat menikmati masa sekarang dan bebas menyongsong masa depan. Mengapa kita selalu membawa-bawa sesuatu yang telah berlalu? Kemelekatan terhadap masa lalu bukanlah suatu teori, melainkan suatu sikap. Kita dapat mengatakan, “Oh, saya tidak melekat.” Atau kita dapat mengatakan, “Saya sama sekali tidak melekat, bahkan tidak melekat pada ketidakmelekatan tersebut,” yang terasa sangat bijak dan terdengar sangat indah, tetapi semua itu hanyalah sampah. Tahukah kamu jika kamu melekat, tidak bisa melepaskan hal-hal penting yang menyebabkanmu menderita, maka hal ini akan menghalangi kebebasanmu. Kemelekatan laksana bola besi dengan rantai yang terikat di kakimu. Tidak ada orang yang mengikatkannya padamu. Kamu memiliki kunci untuk membebaskan dirimu, tetapi kamu tidak menggunakannya. Mengapa kita begitu membatasi diri kita sendiri dan mengapa kita tidak bisa melepaskan segala urusan dan kekhawatiran terhadap masa yang akan datang? Apakah kamu khawatir mengenai apa yang akan terjadi selanjutnya, besok, minggu depan, atau tahun depan? Mengapa kamu melakukan hal ini? Sudah berapa kali kamu mengkhawatirkan ujian atau ulangan, atau kunjungan ke dokter, atau kunjungan ke dokter gigi? Kamu bisa saja khawatir kamu akan sakit dan ketika kamu telah bersiap mengunjungi dokter gigi, ternyata mereka telah membatalkan perjanjianmu dan kamu pun tidak perlu pergi lagi!

Sesuatu tidak akan pernah terjadi sesuai dengan pengharapanmu. Belumkah kita belajar bahwa masa yang akan datang itu begitu tidak pasti sehingga tidak ada yang perlu dikhawatirkan? Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ketika kita melepaskan masa lalu dan masa yang akan datang, bukankah kita telah berada pada jalur meditasi yang mendalam? Bukankah kita sebenarnya sedang belajar bagaimana cara untuk menjadi damai, bebas, dan puas?

Ini adalah indikasi dari makna pencerahan. Ini berarti melihat bahwa banyak kemelekatan kita yang didasari oleh kebodohan belaka. Kita tidak memerlukan hal ini. Seiring kita mengembangkan meditasi dengan lebih mendalam, kita semakin bisa lebih melepaskannya. Semakin banyak kita melepas, semakin bahagia dan damailah diri kita. Inilah alasan mengapa Buddha menyebut semua jalan dalam ajaran Buddha sebagai latihan yang bertahap. Ini adalah jalan yang membimbing seseorang, selangkah demi selangkah, dan pada setiap langkahnya kamu akan mendapatkan suatu penghargaan. Itulah sebabnya ini merupakan sebuah jalan yang sangat membahagiakan dan semakin jauh kamu melangkah, maka semakin membahagiakan dan berhargalah penghargaan itu. Bahkan pada langkah pertama saja kamu sudah akan mendapatkan penghargaan.

Saya masih ingat pertama sekali saya bermeditasi. Saya ingat ruangannya, di Universitas Cambridge, di Ruang Wordsworth, Kampus King. Saya belum pernah bermeditasi sebelumnya, jadi saya hanya duduk di sana lima sampai sepuluh menit dengan beberapa teman saya. Walaupun hanya sepuluh menit, tetapi saya berpikir, “Oh, alangkah menyenangkannya” , saya masih ingat perasaan itu bahwa ada sesuatu yang bergaung dalam diriku, memberitahukan bahwa inilah jalan yang membimbing saya ke suatu tempat yang luar biasa. Saya telah mendiskusikan segala jenis filosofi sambil minum kopi dan bir dengan teman-teman saya, tetapi “diskusi” selalu berakhir dengan perdebatan dan mereka tidak pernah membuat saya lebih bahagia. Bahkan profesor besar di unversitas yang kamu kenal dengan sangat baik tidak terlihat bahagia. Itulah salah satu alasan mengapa saya tidak melanjutkan karir akademis saya. Mereka memang sangat brilian dalam bidang mereka, tetapi di sisi lain mereka juga sebodoh orang biasa. Mereka juga berdebat, khawatir dan tertekan, sama seperti setiap orang yang lain. Dan hal ini benar-benar mengena padaku. Mengapa orang-orang pintar di universitas yang terkenal ini tidak merasa bahagia? Apa gunanya menjadi pintar jika hal ini tidak memberikanmu kebahagiaan? Yang saya maksud adalah kebahagiaan sejati, kepuasan sejati dan kedamaian sejati.

Sumber : Wisdom of Silence by Ajahn Brahm

Dalam hidup ini ada perkara besar, istimewa dan luar biasa, kesanalah
biasanya perhatian tertuju. Tetapi seringkali dari perkara kecil,
sederhana dan biasapun kita bisa mendapatkan hikmah.

Misalnya dari sebatang lilin, jika pada suatu malam listrik padam,
cobalah kita amati apa yang terjadi pada sebatang lilin tersebut,
sumbunya terbakar, batangnya meleleh, hanya dengan kerelaan meleleh
itu lilin tersebut bisa berfungsi memberi terang.

Untuk memberi terang, sebatang lilin harus berkorban, ia meleleh, ia
menjadi pendek. Seandainya lilin itu tidak mau meleleh dan tidak mau
menjadi pendek, maka ia tidak bisa bersinar. Lilin yang mau memenuhi
perannya adalah lilin yang rela meleleh. Sebatang lilin hidup bukan
untuk dirinya sendiri, ia memberi diri.

Terang yang diberikan oleh sebatang lilin adalah kecil saja, berbeda
dengan lampu pijar atau lampu sorot yang memberi cahaya terang
benderang, berkilau-kilauan dan gemerlapan. Lilin memberi terang yang
secukupnya, namun ketika tiba-tiba listrik padam, sebatang lilin sudah
cukup untuk menolong kita bisa melihat dimana pintu dan dimana
jendela.

Kita adalah ibarat lilin, kita hidup bukan untuk diri kita sendiri.
Sebagaimana orang lain telah hidup untuk kita, begitulah kita hidup
juga untuk orang lain. Seperti sebatang lilin, kita eksis untuk
menjadi terang, untuk menjadi lilin yang memberi terang, kita harus
rela meleleh.

Sinar sebatang lilin biasa-biasa saja, cahayanya kecil, tetapi ia
bersinar dengan setia, diam-diam tanpa gembar-gembor, lilin itu
memenuhi perannya dengan setia, menjadi terang dan memberi terang.

Mungkin dalam hidup kita, pelayanan kita kepada orang lainpun
biasa-biasa saja, tidak istimewa, tidak luar biasa, tidak hebat dan
kita tidak punya kedudukan, tetapi dengan hidup bagaikan lilin, maka
kita akan menjadi terang dan dengan begitu akan memberikan terang
kepada lingkungan kita.

Lilin itu bersinar terus, sumbunya terbakar dan batangnya meleleh, dan
akhirnya sumbu dan batangnya akan habis, lilin itu akan padam, tetapi
itu tidak berarti bahwa lilin itu gagal dan sia-sia, justru
sebaliknya, lilin itu telah menjalankan perannya dengan baik dan
berdaya guna.

Seperti batang lilin, hidup dan pelayanan kita juga pada suatu waktu
akan berakhir, ada waktu untuk menyala dan ada waktu untuk padam.
Nantipun ada lilin-lilin lain yang akan menggantikan dan meneruskan
kita, tetapi selama kita masih bisa bersinar, bersinarlah terus,
menjadi terang sebisanya dan menjadi cahaya seadanya.

Terus bersinar sampai sumbu dan batang yang penghabisan.

E.D. [Semaggi-phala]

“Mengendalikan Kemarahan”
Orang yang marah membuka mulutnya dan menutup matanya.

Seorang janda kaya aristokrat, yang terkenal murah hati di mata masyarakat, memiliki seorang pembantu rumah tangga yang rajin dan setia. Suatu hari, didorong oleh rasa ingin tahu, pembantu ini memberanikan diri menguji majikannya. Ia ingin tahu adakah majikannya sungguh-sungguh baik hati, atau hanya sekadar berpura-pura di muka kalangan elite belaka. Esok hari, ia sengaja bangun siang. Maji­kan menegurnya. Hari berikut­nya, pembantu itu bangun terlambat lagi. Kali ini nyonya rumah memarahi dan memukulnya dengan tongkat. Kabar ini segera berhembus dari satu tetangga ke tetangga lain. Janda kaya kehilangan nama baiknya dan juga pembantunya yang setia.
Layaknya masyarakat masa sekarang, orang menjadi baik dan rendah hati jika keadaan di sekitar mereka baik dan memuaskan. Jika keadaan berubah menjadi tidak menyenangkan, mereka marah dan tersinggung. Ingat pepatah, “Tatkala yang lain baik, kita juga dapat menjadi baik. Tatkala yang lain tak bermoral, kita juga mudah menjadi tak bermoral.”
Kemarahan adalah emosi yang buruk dan merusak. Setiap orang dapat marah dalam satu atau lain bentuk di kehidupan sehari-hari. Kemarahan adalah emosi negatif yang bersembunyi di dalam diri kita, ia menunggu saat yang tepat untuk membakar dan menguasai kehidupan kita. Kemarahan bisa diumpamakan sebagai kilatan cahaya yang menyilaukan sesaat dan menyebabkan kita berperilaku tidak masuk akal. Kemarahan yang tidak terkendali dapat membawa kehancuran pada fisik maupun mental. Seperti emosi-emosi yang lain, kemarahan juga bisa dikendalikan.

Bahaya Yang Disebabkan oleh Kemarahan
Makhluk-makhluk tertentu tak bisa melihat pada siang hari, sementara yang lain buta pada malam hari. Orang yang memiliki kadar kebencian dan kegetiran hingga tingkat tertentu, tidak bisa melihat apa pun dengan jelas, baik pada pagi maupun malam hari. Ada ungkapan bahwa orang yang marah membuka mulut dan menutup matanya.
Dikatakan bahwa akibat kemarahan, orang yang marah meng­alihkan dirinya sendiri dengan merusak akal sehatnya. Seperti uang di bank yang berbunga, kemarahan di dalam pikiran juga akan memetik buahnya yang pahit.
Sebenamya dengan siapa atau apa kita ber­tempur pada saat marah? Kita bertempur dengan diri sendiri, yang menjadi musuh terjahat. Kita harus berusaha terus-menerus untuk mengikis bahaya laten di dalam pikiran ini, dengan cara memahami situasi dengan tepat.
Kemarahan tumbuh semakin berkobar jika disiram minyak emosi, terutama jika keserakahan berada di balik emosi itu. Di saat-saat kemarahan menguasai, manusia berhenti menjadi manusia: ia berubah menjadi binatang buas yang tidak hanya memiliki kecenderungan untuk merusak orang lain, tapi juga menghancurkan diri sendiri. Kemarahan bisa melenyapkan reputasi, pekerjaan, kawan, kekasih, kedamaian pikiran, kesehatan, bahkan diri sendiri.
Buddha menjelaskan kejinya kemarahan dan bersabda bahwa pada saat seorang diliputi kemarahan, tujuh hal menimpanya; tujuh hal yang cuma mengabulkan hasrat musuh-musuhnya dan membuat mereka bersenang hati. Apakah ketujuh hal itu?
1. Ia akan kelihatan buruk walaupun berpakaian dan bertata rias baik.
2. Ia akan terbujur kesakitan, walaupun ia tidur di atas kasur yang empuk dan hangat.
3. Ia akan melakukan perbuatan yang hanya akan membawa kerusakan dan penderitaan, karena menganggap yang baik sebagai yang buruk dan yang buruk sebagai yang baik, dan karena selalu gelisah dan tidak lagi memakai akal sehat.
4. la akan menghabiskan kekayaan yang diperolehnya dengan susah payah, bahkan melanggar hukum.
5. Ia akan kehilangan reputasi dan nama baik yang dicapai dengan ketekunan.
6. Teman-teman, famili, dan orang yang dikasihinya akan menghindari dan mengambil jarak darinya.
7. Setelah mati ia akan dilahirkan di alam yang tidak menyenangkan, karena orang yang dikuasai kemarahan melakukan perbuatan yang tercela yang hanya membawa akibat buruk melalui tubuh, ucapan, dan pikiran.
– Anguttara Nikaya –

Nasib buruk seperti di atas adalah yang di­harapkan oleh musuh seseorang. Dan semua itu ada­lah nasib sangat buruk yang akan menimpa orang yang dikuasai kemarahan.

*****

Mengatasi Kemarahan
Cara terbaik mengendalikan kema­rahan adalah dengan berlaku seolah-olah pikiran-­pikiran yang tidak diinginkan tidak muncul dalam pikiran. Dengan kekuatan tekad, kita pusatkan pikiran pada sesuatu yang bermanfaat dan dengan cara inilah emosi-emosi negatif dikalahkan. Tidak mudah bersikap damai pada orang yang menghina kita. Meskipun fisik tidak disakiti, ego terasa direndahkan, sehingga ada keinginan untuk menyerang balik. Sungguh tidak mudah membalas hinaan dengan rasa menghargai dan memaklumi. Namun ujian karakter seseorang justru dinilai dari sikap­nya dalam menghadapi situasi yang memojokkan dalam kehidupan sehari-hari. Sejak kecil juga sudah dapat dilihat bahwa kita suka membalas dendam demi kepuasan diri sendiri.

Ia menghinaku, menyakitiku, mengalahkanku, merampokku. Dalam diri orang yang dipenuhi pikiran seperti itu, kebencian tak akan berakhir.
– Buddha –

Kegelapan tidak dapat diatasi dengan kegelapan, melainkan dengan terang. Demikian juga, kebencian tak dapat dikalahkan dengan kebencian, melainkan dengan cinta kasih.
Mengenai hal ini, Buddha mengibaratkan sebagai berikut: ”Ada orang yang diibaratkan laksana aksara terukir di atas batu; mereka cepat menyerah pada kemarahan dan menyimpan kemarahan itu di dalam hati untuk waktu lama. Ada juga orang seperti laksana goresan surat di atas pasir; mereka juga marah, namun kemarahan itu cepat berlalu. Orang yang laksana huruf yang ditulis di permukaan air; mereka tidak menyisakan goresan huruf yang datang. Tapi orang yang sem­purna laksana surat yang tertulis di angin; mereka tak mengacuhkan hal-hal menyakitkan dan yang berupa penghinaan; pikiran mereka senantiasa murni tak terusik.”
Bahkan jika kita merasa marah pada ketidak­adilan yang menimpa orang lain, kita tetap harus mengatasi kemarahan itu, karena kita tak mungkin dapat berbuat sesuatu yang bermanfaat dalam keadaan pikiran yang ter­ganggu. Ketika kita sedang marah, hendaknya kita dapat menyadari keadaan itu. Pandanglah kemarahan itu sebagai satu keadaan mental, tanpa mengarahkannya pada obyek yang menyebabkan kemarahan itu timbul.
Kita harus belajar mengamati dan meneliti emosi-­emosi kita pada saat sedang marah. Dengan terus menerus mempraktikkan analisa diri terhadap gairah‑gairah yang timbul dalam pikiran, kita akan lebih percaya diri dalam mengendalikan diri sendiri dan tidak akan berlaku dungu dan tak masuk akal.

Nasihat Buddha:
Sungguh baik mengendalikan perbuatan;
sungguh baik mengendalikan ucapan;
sungguh baik mengendalikan pikiran;
sungguh baik terkendali dalam segalanya.
Orang suci yang terkendali dalam segalanya
Akan terbebas dari kesedihan.

Tidak semua orang menggunakan metode yang sama untuk mengatasi kemarahannya. . Salah satu cara yang efektif adalah dengan menerapkan metode ‘mengulur waktu’. Thomas Jefferson meringkas metode ini dalam kata-katanya. “Jika marah, hitung sampai sepuluh sebelum melepaskan kata-kata. Jika sangat marah, hitunglah sampai seratus.”
Salah satu resep untuk mengembangkan pengendalian watak yang lebih baik adalah dengan mengulang-ulang di dalam hati kata-kata di bawah ini setiap hari..

“Saya mampu mengendalikan kemarahan,
saya mampu mengatasi gangguan,
saya akan tetap sejuk dan tak akan terbakar,
saya akan kokoh seperti karang,
tak goyah oleh kemarahan,
saya berani dan penuh dengan harapan.”

Dengan mengulangi kalimat-kalimat itu, kita bisa menguatkan pikiran dengan meraih kepercayaan diri dan ketenangan pikiran. Pada saat menghadapi perbuatan tidak benar yang dilakukan orang lain, kita juga bisa mengingat kata-kata Buddha.
“Jika orang dengan kedunguannya berbuat salah terhadapku, aku akan membalas dengan perlindungan tirai kasihku yang tak terbatas; semakin ia berbuat jahat, se­makin baik yang harus kuberikan; harum kebajikan akan datang padaku, dan ia hanya akan menuai karma buruk.
Orang bertemperamen jahat berusaha melukai orang bajik, seperti orang yang meludah ke langit; ludah tak pernah mengotori langit. Bahkan wajah sendiri yang terkena percikan itu. Orang penfitnah laksana orang yang menebar debu melawan angin. Debu akan berbalik menimpah kepada orang yang menebarkannya. Orang bijak tak bisa dilukai; kesengsaraan akan berbalik kepada orang yang suka men­fitnah.”

*****

Disadur dari buku Best Seller Karaniya “Hidup Sukses dan Bahagia”,
karya. Dr. K. Sri Dhammananda,
Penerbit: Yayasan Karaniya
Hub: 021-5687929 atau 081-315-315- 699
email: karaniya@cbn. net.id
online order: http://www.karaniya. com

Biasanya, bagi seorang anak perempuan yang sudah dewasa, yang sedang bekerja diperantauan, yang ikut suaminya merantau di luar kota atau luar negeri, yang sedang bersekolah atau kuliah jauh dari kedua orang tuanya. Akan sering merasa kangen sekali dengan Mamanya. Lalu bagaimana dengan Papa?Mungkin karena se-gender sama mama, jadi mungkin lebih dekat dengan mama.
Tapi ternyata Papa begitu menyayangiku. Mungkin dulu sewaktu aku kecil, Mama-lah yang lebih sering mengajarkan banyak hal seperti menabung, dan lain-lain. Ketika aku sakit, Papa yg setelah selesai bekerja dan dengan wajah lelah Papa selalu menanyakan pada Mama tentang kondisiku dan apa yang ku lakukan seharian. Pada saat diriku masih seorang anak perempuan kecil. Papa biasanya mengajariku naik sepeda. Dan setelah Papa mengganggapku bisa, Papa akan melepaskan roda bantu di sepedaku. Papa dengan yakin akan membiarkanku, menatapku, dan menjagaku mengayuh sepeda dengan seksama karena dia tahu putri kecilnya PASTI BISA. Saat aku demam dan sakit pilek, Papa yang selalu membawa aku ke dokter dan mempersiapkan obat-obat untuk ku makan. Aku agak sulit menelan butiran obat. Papa akan menghancurkan dulu obat-obat yg ada menjadi bubuk, lalu diletakkan di sendok, ditambahin air dan juga sedikit gula (aku gak suka dengan rasa obat yg pahit sehingga papa memberikan gula sedikit), kemudian aku minum cairan obat itu. Saat aku sakit, Papa benar-benar mengkhawatirkan keadaanku.
Ketika aku sudah beranjak remaja. Aku mulai keluar malam, dan papa akan menungguku hingga aku pulang. Meskipun kadangkala, saat ku pulang, beliau sedang berbaring, ternyata beliau belum tidur karna menungguku dan memastikan aku pulang dengan selamat. Papa melakukan itu untuk menjagaku, karena bagi Papa, aku adalah sesuatu yang sangat – sangat luar biasa berharga baginya. Papa mengatakan padaku, Harapanku ada pada dirimu.

Ketika mendengar aku lulus ujian masuk ITB, papa sangat senang dan terharu. Matanya terkaca-kaca melihatku. Masih ku ingat momen-momen penuh keharuan itu. Ketika ak menjadi juara olypiade tingkat kabupaten, dan harus ikut training dan seleksi tingkat provinsi, aku harus ke pekanbaru. Hal yg pertama kali ditanyakan adalah bersama siapa aku ke pekanbaru, guru pembimbingku adalah bapak atau ibu. Berapa orang cowok dan berapa org cewek yg ikut, Papa begitu mengkhawatirkanku.

Terkadang, aku pulang agak telat, dan lupa memberi tahu dulu ke papa kemana aku pergi setelah aktivitas akademik. Ketika melihat aku pulang, Papa dan mama akan mengeras, memarahiku. Mereka begitu khawatir. Sejak itu, aku selalu ingat untuk memberitahu kalau-kalau aku harus ke suatu tempat, atau ada kegiatan lain. Karena hal yang di sangat ditakuti Papa adalah terjadi sesuatu yg tidak diinginkan pada anaknya.

Setelah lulus SMA, aku ingin melanjutkan kuliah diluar kota. Dan Papa menyetujuinya, tapi dihati kecil beliau, beliau begitu khawatir. Berkali-kali beliau mengingatkan untuk berhati-hati saat menyebrang jalan saat di luar kota, jangan lupa kunci pintu kamar kos saat mau tidur, jangan keluar malam, dan ikutilah orang2 yang baik.

Ketika aku mengatakan, aku ingin makan nasi goreng masakan Papa, beliau begitu semangat dan langsung mulai memasak nasi goreng. Nasi goreng buatan papa begitu enak, dan menakjubkan. Mungkin karena dimasak dengan pikiran yg penuh dengan kasih sayang pada anaknya.

Saatnya aku diwisuda sebagai seorang sarjana. Papa tidak bisa hadir waktu itu, tapi ku yakin jikalau waktu itu Papa hadir diwisudaku, beliau adalah orang pertama yang berdiri dan memberi tepuk tangan untukku ketika mendengar aku lulus dengan predikat cumlaude. Papa akan tersenyum dengan bangga dan puas melihat “putri kecilnya berhasil tumbuh dewasa, dan telah menjadi seseorang sarjana.

Ketika aku menjadi gadis dewasa. Dan aku harus pergi kuliah di negara lain, Papa harus melepasku di pelabuhan, dan menyampaikan berbagai jenis pesan-pesan padaku, dan ketika kapal akan segera berangkat, barulah papa mulai keluar dari kapal, sambil sedikit menepuk bahuku. Beliau menunggu hingga kapal yg ku naiki berjalan agak jauh, barulah beliau beranjak dari pelabuhan. Sambil melambai-lambaikan tangan, dan menatapku.
Ketika aku meminta untuk foto bersama papa sebelum aku berangkat, beliau begitu semangat, aku memeluknya, sepertinya beliau ingin sekali memelukku erat-erat, seperti aku memeluk mamaku. Ketika ku lihat secara mendalam wajah papa, ak menyadari beliau sudah berusia lanjut. Beliau sudah bekerja keras membesarkan anak-anaknya.

Ketika aku sudah jauh dari kota Bengkalis, ku pikir yg Papa lakukan hanya menghapus sedikit air mata di sudut matanya, dan berkata dalam hati, “Jaga dirimu baik-baik ya, sayang”. Papa mengizinkan aku untuk merantau ke negara lain, itu semua agar aku kuat,…kuat untuk pergi dan menjadi dewasa.

This story actually from my friend’s writing, I just edit it according to my experience with my dad.
Dad, I love you.
Gan En

Pygmalion adalan seorang pemuda yang berbakat seni memahat. Ia sungguh piawai dalam memahat patung. Karya ukiran tanganya sungguh bagus. Tetapi bukan kecakapannya itu menjadikan ia dikenal dan disenangi teman dan tetangganya. Pygmalion dikenal sebagai orang yang suka berpikiran positif. Ia memandang segala sesuatu dari sudut yang baik.

Apabila lapangan di tengah kota becek, orang-orang mengomel. Tetapi Pygmalion berkata, “Untunglah, lapangan yang lain tidak sebecek ini”. Ketika ada seorang pembeli patung ngotot menawar-nawar harga, kawan-kawan Pygmalion berbisik, “Kikir betul orang itu”. Tetapi Pygmalion berkata, “Mungkin orang itu perlu mengeluarkan uang untuk urusan lain yang lebih perlu”. Ketika anak-anak mencuri apel dikebunnya, Pygmalion tidak mengumpat. Ia malah merasa iba, “Kaihan, anak-anak itu kurang mendapat pendidikan dan makanan yang cukup di rumahnya.

Itulah pola pandang Pygmalion. Ia tidak melihat suatu keadaan dari segi buruk, melainkan dari segi baik. ia tidak pernah berpikir buruk tentang orang lain; sebaliknya ia mencoba membayangkan hal-hal yang baik dibalik perbuatan buruk orang lain.

Pada suatu hari Pygmalion mengukir sebuah patung wanita dari kayu yang sangat halus. Patung itu berukuran manusia sungguhan. Ketika sudah rampung, patung itu tampak seperti manusia betul. Wajah patung itu tersenyum manis menawan, tubuhnya elak menarik. Kawan-kawan Pygmalion berkata < “Ah, sebagus-bagusnya patung, itu cuma patung, bukan isterimu’. Tetapi Pygmalion memperlakukan patung itu sebagai manusia betul. Berkali-kali patung itu ditatapnya dan dielusnya.

Para dewa yang ad di Gunung Olympus memperhatikan dan menghargai sikap Pygmalion, lalu mereka memutuskan untuk memberi anugerah kepada Pygmalion, yaitu mengubah patung itu menjadi manusia betul. Begitulah, Pygmalion hidup berbahagia dengan isterinya itu yang konon adalah wanita tercantik di seluruh negeri Yunani.

Nama Pygmalion dikenang hingga kini untuk menggambarkan dampak pola berpikir yang positif. kalau kita berpikir positif tentang sesuatu keadaan atau seseorang, seringkali hasilnya betul-betul menjadi positif. Misalnya, jika kita bersikap ramah terhadap seseorang, maka orang itupun akan menjadi ramah terhadap kita. Jika memperlakukan anak kita sebagai anak yang cerdas, akhirnya dia betul-betul menjadi cerdas. Jika kita yakin bahwa upaya kita akan berhasil, besar sekali kemungkinan upaya kita akan berhasil. Optimisme pada awal suatu upaya dapat merupakan separuh keberhasilan. Dampak pola berpikir positif itu disebut dampak Pygmalion.

Pikiran kita memang seringkali mempunyai dampak fulfilling prophecy atau ramalan tergenapi, baik positifmaupun negatif. Kalau kita menganggap tetangga kita judes sehingga kita tidak mau bergaul dengan dia, maka akhirnya dia betul-betul menjadi judes. Kalau kita mencurigai dan menganggap anak kita tidak jujur, akhirnya ia betul-betul menjadi tidak jujur. Kalau kita sudah putus asa dan merasa tidak sanggup pada awal suatu usaha, besar sekali kemungkinannya kita betul-betul akan gagal.

Pola pikir Pygmalion adalah berpikir, menduga dan berharap hanya yang baik tentang suatu keadaan atau seseorang. Bayangkan, bagaimana besar dampaknya bila kita berpola pikir positif seperti itu. Kita tidak akan berprasangka buruk tentang orang lain. Kita tidak menggunjingkan desas-desus yang jelek tentang orang lain. Kita tidak menduga-duga yang jahat tentang orang lain.

Disini letak persoalannya. Mengapa kita cenderung berpikir jahat tentang orang lain, sehingga yang kita bayangkan hanya segi negatifnya, padahal sebetulnya orang itu sedang berbuat baik.

Kalau kita berpikir buruk tentang orang lain, selalu ada saja bahan untuk menduga hal-hal yang buruk. Jika ada seorang kawan memberi hadiah kepada kita, jelas itu adalah perbuatan baik. Tetapi jika kita berpikir buruk, kita akan menjadi curiga, “Barangkali ia sedang mencoba membujuk”, atau kita mengomel, “Ah hadiahnya cuma barang murah”, Yang rugi dari pola pikir seperti itu adalah diri kita sendiri. Kita menjadi tidak bahagia. Sebaliknya, kalau kita berpikir positif, kita akan menikmati hadiah itu dengan rasa gemberi dan syukur, “Ia begitu murah hati, walaupun ia sibuk, ia ingat untuk memberi kepada kita”.

Warna hidup memang tergantung dari warna kacamata yang kita pakai. Kalau kita memakai kacamata kelabu, segala sesuatu akan tampak kelabu. Hidup menjadi kelabu dan suram. Tetapi kalau kita memakai kacamata yang terang, segala sesuatu akan tampak cerah. Kacamata yang berprasangka atau benci akan menjadikan hidup kita penuh curiga dan dendam. Tetapi kacamata yang damai akan menjadikan hidup kita damai.

Hidup akan menjadi baik kalau kita memandangnya dari segi yang baik. Berpikir baik tentang diri sendiri. Berpikir baik tentang orang lain. Berpikir baik tentang keadaan. Berpikir baik tentang apa saja. Dampak berpikir baik seperti itu akan kita rasakan. Keluarga akan menjadi hangat. Kawan menjadi bisa dipercaya. Tetangga menjadi akrab. Pekerjaan menjadi menyenangkan. Dunia menjadi ramah. Hidup menjadi indah. Seperti Pygmalion, begitulah.

Artikel ini dikutib dari milist semaggiphala.

Semoga menginspirasi.

gan en.